Personal Clouds – Persaingan di pasar cloud hosting Asia Tenggara semakin memanas dengan masuknya para pemain global seperti Amazon Web Services (AWS), Google Cloud, Microsoft Azure, hingga penyedia asal Asia seperti Alibaba Cloud dan Huawei Cloud. Kini tengah berlomba memperluas jangkauan mereka di kawasan ini. Dengan meningkatnya digitalisasi pascapandemi dan kebutuhan akan layanan infrastruktur berlatensi rendah serta keamanan tinggi. Pembangunan data center lokal menjadi senjata strategis utama yang menentukan siapa yang akan memimpin di tahun 2025.
Asia Tenggara kini menjadi target utama ekspansi cloud global karena kawasan ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Populasi digital yang aktif, serta peningkatan adopsi teknologi di berbagai sektor. Negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina sedang mengalami lonjakan aktivitas e-commerce. Serta fintech, layanan kerja jarak jauh, dan digitalisasi layanan publik semuanya membutuhkan infrastruktur cloud yang kuat dan andal.
Diperkirakan pada 2025, nilai pasar cloud Asia Tenggara akan menembus USD 40 miliar. Dorongan ini datang dari meningkatnya permintaan perusahaan rintisan, UMKM, hingga korporasi multinasional yang memerlukan solusi cloud yang fleksibel, efisien secara biaya, dan mudah diskalakan. Fakta ini menjadikan kawasan ini sebagai arena utama pertarungan penguasa cloud global.
“Baca Juga: Acer Resmi Rilis Super ZX & ZX Pro, Tanda Kembalinya ke Dunia Smartphone”
Tidak seperti Amerika Utara atau Eropa, Asia Tenggara masih menghadapi tantangan konektivitas. Serta latensi karena faktor geografis dan infrastruktur internet yang belum merata. Oleh karena itu, kehadiran fisik data center lokal menjadi sangat penting. Provider cloud berlomba membangun pusat data dan edge hub demi memberikan akses yang lebih cepat, stabil, serta sesuai dengan peraturan penyimpanan data setempat.
AWS, misalnya, tengah memperluas wilayah operasionalnya di Jakarta yang telah diluncurkan sejak 2021. Sementara itu, Google Cloud mengumumkan rencana pendirian wilayah cloud baru di Malaysia dan Thailand. Microsoft Azure pun ikut bersiap dengan membangun data center pertamanya di Filipina. Infrastruktur ini tidak hanya mempercepat kinerja layanan cloud, tapi juga menunjang kepatuhan terhadap regulasi data domestik.
Di sisi lain, Alibaba Cloud dan Huawei Cloud juga tidak mau kalah. Mereka menawarkan solusi yang disesuaikan secara lokal dengan harga bersaing. Kedekatan mereka dengan pemerintah di Asia memberi nilai lebih bagi perusahaan-perusahaan lokal yang mencari penyedia cloud yang memahami budaya dan kebutuhan regulasi setempat.
Peraturan data dan keamanan siber di Asia Tenggara kini makin ketat. Negara-negara seperti Vietnam, Indonesia, dan Malaysia mulai menerapkan undang-undang perlindungan data pribadi yang mensyaratkan data harus disimpan secara lokal. Ini membuat keberadaan fisik data center menjadi sebuah kewajiban, bukan lagi pilihan.
Undang-undang PDP di Indonesia, hukum lokalisasi data di Vietnam, serta regulasi PDPA Malaysia mendorong penyedia cloud membangun data center dalam negeri agar tetap bisa bersaing dan relevan. Tanpa infrastruktur lokal, risiko kehilangan akses pasar menjadi nyata. Hal ini membuat investasi infrastruktur menjadi langkah strategis, bukan hanya operasional.
Selain itu, dinamika geopolitik juga berpengaruh. Perusahaan yang berbasis di AS atau Tiongkok kadang diperlakukan berbeda tergantung pada hubungan diplomatik masing-masing negara, sehingga transparansi, keamanan, dan kepercayaan menjadi aspek penting dalam memilih penyedia layanan cloud.
Tahun 2025 juga ditandai oleh semakin banyaknya aliansi strategis antara penyedia cloud global dengan perusahaan lokal, mulai dari operator telekomunikasi hingga startup teknologi. Kolaborasi ini bukan hanya membantu dalam distribusi dan infrastruktur, tapi juga menciptakan kepercayaan di kalangan pengguna dan regulator.
Contohnya, Google Cloud menggandeng Axiata di Malaysia, sementara AWS menjalin kemitraan dengan operator lokal di Indonesia. Kemitraan semacam ini mempercepat proses ekspansi sekaligus membuka peluang penyediaan layanan hybrid cloud yang semakin banyak diminati oleh perusahaan-perusahaan yang masih bertransisi dari sistem on-premise ke cloud penuh.
Bahkan, banyak penyedia cloud hosting global mulai berinvestasi dalam program pelatihan tenaga kerja, sertifikasi cloud, dan pengembangan skill digital untuk masyarakat lokal. Pendekatan ini bukan hanya menanamkan kehadiran infrastruktur, tetapi juga membentuk ekosistem digital yang berkelanjutan di setiap negara target.
Alih-alih menutup dengan kesimpulan tradisional, tren yang patut disorot ke depan adalah munculnya model cloud berdaulat (sovereign cloud) di kawasan Asia Tenggara.
Dengan semakin tingginya perhatian terhadap kedaulatan data, sejumlah negara mulai mempertimbangkan model cloud yang sepenuhnya dikelola oleh entitas lokal atau berada di bawah pengawasan pemerintah. Model ini memungkinkan data sensitif nasional tidak keluar dari yurisdiksi negara, namun tetap memanfaatkan teknologi dari mitra global.
Ke depannya, diperkirakan akan ada kombinasi antara public cloud, private cloud, dan sovereign cloud yang saling melengkapi. Penyedia layanan yang bisa menawarkan solusi hybrid yang fleksibel, legal, dan sesuai dengan kebijakan nasional akan berada di posisi yang lebih unggul. Bahkan, bisa jadi akan bermunculan pemain baru lokal yang menawarkan cloud nasional hasil kolaborasi dengan raksasa global.